disable

doa dan imej

doa dan imej
                                                                                                                                                                      

Jumaat, 2 Ogos 2013

Kisah Tsabit bin Ibrahim

Seorang lelaki yang soleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggir kota Kufah... Tiba-tiba dia melihat sebijik buah epal jatuh keluar pagar sebuah kebun ... Melihat buah epal yang merah ranum itu di tanah,.. membuat Tsabit terliur.., tanpa fikir panjang dipungut dan dimakan buah epal yang lazat itu..., baru makan setengah jalan.. dia teringat bahawa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin pemiliknya.

Maka dia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya untuk meminta dihalalkan buah yang telah dimakannya.... Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki...

Maka langsung saja dia berkata, “Aku sudah makan setengah dari buah epal ini... Aku berharap anda menghalalkannya”. Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya tukang kebun yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebunnya”.
Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Dimana rumah pemiliknya..? Aku ingin menemuinya dan minta agar dihalalkan buah epal yang telah aku makan ini.”
Tukang kebun itu memberitahu “Jika engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam”.

Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, “Tidak mengapa... Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh... Aku telah memakan buah epal yang tidak halal bagiku kerana tanpa izin pemiliknya... Bukankah Rasulullah s.a.w. sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi ungun api neraka..”

Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit  langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata,” Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur memakan setengah dari buah epal tuan yang jatuh di luar kebun tuan.... Kerana itu mahukah tuan menghalalkan apa yang sudah aku makan itu?”

Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, “Tidak, aku tidak boleh menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.”
Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu kerana takut ia tidak dapat memenuhinya. Maka segera ia bertanya,“Apa syarat itu tuan?” Orang itu menjawab, “Engkau harus mengahwini puteriku...”
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah karena hanya aku makan setengah buah epal yang keluar dari kebunmu, maka aku harus mengawini putrimu ?”
Pemilik kebun itu langsung tidak mempedulikan pertanyaan Tsabit... Ia malah menambahkan,  katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan pekak tuli... Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh !”

Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berfikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia ambil berkahwin sebagai isteri gara-gara disebabkan setengah buah epal yang tidak dihalalkan kepadanya ?..

Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak boleh menghalalkan apa yang telah kau makan !”

Namun Tsabit kemudian menjawab dengan tenang.. “Aku akan menerima pinangannya dan perkahwinanya. ..kerana aku telah berserah segala sesuatu hanya kepada Allah Rabbul ‘alamin...Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak2 ku kepadanya ...Aku amat berharap Allah selalu meredhai aku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala”.

Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkahwinan selesai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui isterinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia bertekad akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu, kerana  malaikat-malaikat  Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu. Maka iapun mengucapkan salam,
“Assalamualaikum…”

Tak disangka sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik.... Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi isterinya itu menyambut  tangannya.
Tsabit  tergamam dan hairan menyaksikan perkara ini... Kata ayahnya, dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula.

Tsabit berfikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ?
Setelah Tsabit duduk di samping isterinya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta... tapi ternyata kamu tidak buta... Mengapa?”

isterinya itu kemudian berkata, “Ayahku benar, kerana aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”.
Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli, padahal kamu bisa mendengar... mengapa?”
isterinya itu menjawab, “Ayahku benar, kerana aku tidak pernah mahu mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah....Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?” Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya.
Selanjutnya wanita itu berkata, “aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah saja... Aku juga dikatakan lumpuh kerana kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang boleh menimbulkan kemurkaan Allah ..”

Tsabit amat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata amat soleh dan wanita yang memelihara dirinya. Dia pernah menyatakan tentang isterinya, “Ketika kulihat wajahnya… Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”.


Tsabit dan isterinya yang solihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. ...Tidak lama kemudian mereka dikurniakan seorang putera yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia,... anak itu diberi nama An Nu’man bin Tsabit... atau lebih dikenali dengan gelaran Imam Abu Hanifah

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Nota: Hanya ahli blog ini sahaja yang boleh mencatat ulasan.