Seorang lelaki yang soleh bernama Tsabit bin Ibrahim
sedang berjalan di pinggir kota Kufah... Tiba-tiba dia melihat sebijik buah epal jatuh keluar pagar sebuah kebun ... Melihat buah epal yang merah ranum itu di
tanah,.. membuat Tsabit terliur.., tanpa fikir panjang dipungut dan dimakan
buah epal yang lazat itu..., baru makan setengah jalan.. dia teringat bahawa
buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin pemiliknya.
Maka dia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu
hendak menemui pemiliknya untuk meminta dihalalkan buah yang telah
dimakannya.... Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki...
Maka langsung saja dia berkata, “Aku sudah makan
setengah dari buah epal ini... Aku berharap anda menghalalkannya”. Orang itu
menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya tukang kebun yang ditugaskan
menjaga dan mengurus kebunnya”.
Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Dimana
rumah pemiliknya..? Aku ingin menemuinya dan minta agar dihalalkan buah epal yang
telah aku makan ini.”
Tukang kebun itu memberitahu “Jika engkau ingin pergi
kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam”.
Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si
pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, “Tidak mengapa... Aku akan
tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh... Aku telah memakan buah epal yang
tidak halal bagiku kerana tanpa izin pemiliknya... Bukankah Rasulullah s.a.w.
sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari
yang haram, maka ia lebih layak menjadi ungun api neraka..”
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan
setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan
pintu, Tsabit langsung memberi salam
dengan sopan, seraya berkata,” Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur
memakan setengah dari buah epal tuan yang jatuh di luar kebun tuan.... Kerana
itu mahukah tuan menghalalkan apa yang sudah aku makan itu?”
Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya
dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, “Tidak, aku tidak boleh
menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.”
Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu kerana takut
ia tidak dapat memenuhinya. Maka segera ia bertanya,“Apa syarat itu tuan?”
Orang itu menjawab, “Engkau harus mengahwini puteriku...”
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan
lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah karena hanya aku makan setengah buah epal yang keluar dari kebunmu, maka aku harus mengawini putrimu ?”
Pemilik kebun itu langsung tidak mempedulikan
pertanyaan Tsabit... Ia malah menambahkan,
katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu
kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan pekak
tuli... Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh !”
Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik
kebun. Dia berfikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia ambil
berkahwin sebagai isteri gara-gara disebabkan setengah buah epal yang tidak
dihalalkan kepadanya ?..
Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain
syarat itu aku tidak boleh menghalalkan apa yang telah kau makan !”
Namun Tsabit kemudian menjawab dengan tenang.. “Aku
akan menerima pinangannya dan perkahwinanya. ..kerana aku telah berserah segala
sesuatu hanya kepada Allah Rabbul ‘alamin...Untuk itu aku akan memenuhi
kewajiban-kewajiban dan hak2 ku kepadanya ...Aku amat berharap Allah selalu
meredhai aku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di
sisi Allah Ta’ala”.
Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu
menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah
perkahwinan selesai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui isterinya. Sewaktu
Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia bertekad akan tetap mengucapkan salam
walaupun isterinya tuli dan bisu, kerana
malaikat-malaikat Allah yang berkeliaran
dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu. Maka iapun mengucapkan salam,
“Assalamualaikum…”
Tak disangka sama sekali wanita yang ada dihadapannya
dan kini resmi jadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik.... Ketika
Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia mengulurkan tangan untuk
menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini
menjadi isterinya itu menyambut
tangannya.
Tsabit tergamam
dan hairan menyaksikan perkara ini... Kata ayahnya, dia wanita tuli dan bisu
tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti
wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga
mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku
dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula.
Tsabit berfikir, mengapa ayahnya menyampaikan
berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ?
Setelah Tsabit duduk di samping isterinya, dia
bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta... tapi ternyata kamu
tidak buta... Mengapa?”
isterinya itu kemudian berkata, “Ayahku benar, kerana
aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”.
Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa
engkau tuli, padahal kamu bisa mendengar... mengapa?”
isterinya itu menjawab, “Ayahku benar, kerana aku tidak
pernah mahu mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha
Allah....Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?”
Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit
mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya.
Selanjutnya wanita itu berkata, “aku dikatakan bisu
karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah
saja... Aku juga dikatakan lumpuh kerana kakiku tidak pernah pergi ke
tempat-tempat yang boleh menimbulkan kemurkaan Allah ..”
Tsabit amat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata
amat soleh dan wanita yang memelihara dirinya. Dia pernah menyatakan tentang
isterinya, “Ketika kulihat wajahnya… Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di
malam yang gelap”.
Tsabit dan isterinya yang solihah dan cantik itu hidup
rukun dan berbahagia. ...Tidak lama kemudian mereka dikurniakan seorang putera
yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia,... anak itu diberi
nama An Nu’man bin Tsabit... atau lebih dikenali dengan gelaran Imam Abu
Hanifah
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
Nota: Hanya ahli blog ini sahaja yang boleh mencatat ulasan.